Sewa-menyewa menjadi salah satu kegiatan yang tidak dapat dilepas dalam suatu usaha. Sewa-menyewa dapat menjadi inti bisnis dari suatu perusahaan, maupun upaya yang dilakukan perusahaan untuk menghemat cash flow perusahaan. Dalam ketentuan pajak, perlakuan pajak atas sewa dibagi menjadi dua. Pertama, sewa tanah dan bangunan, yang merupakan objek PPh Final. Kedua, sewa atas harta selain tanah/bangunan yang merupakan objek PPh Pasal 23.
Sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1 UU Pajak Penghasilan, PPh 23 dikenakan atas penghasilan dari sewa maupun penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain harta berupa tanah dan/atau bangunan. Misalnya, sewa kendaraan, sewa mesin, sewa alat, dan harta lainnya.
Perlu diingat, PPh Pasal 23 atas sewa dikenakan baik untuk orang pribadi maupun badan. Meskipun PPh Pasal 23 umumnya dikenakan untuk Wajib Pajak badan, terkait penghasilan berupa sewa harta selain tanah/bangunan, serta penghasilan seperti royalti yang diterima orang pribadi, bukan objek PPh Pasal 21, melainkan PPh Pasal 23.
Tarif dan Dasar Pemotongan PPh 23 atas Sewa
Tarif PPh Pasal 23 untuk sewa harta seperti mesin, kendaraan, dan peralatan adalah 2%. PPh terutang dihitung dari jumlah bruto penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta tersebut.
PPh Pasal 23 atas Sewa = 2% x Jumlah Bruto
Tarif 4%, atau 100% lebih tinggi dari tarif umum, berlaku apabila Wajib Pajak penerima penghasilan tidak memiliki NPWP.
Administrasi Pajak atas Sewa Harta
Withholding tax atas sewa harta dilakukan oleh pemberi penghasilan atau pihak penyewa. Saat terutang atau pemotongan dilakukan pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan, atau jatuh tempo pembayaran sewa.
Perlu diingat, tidak terdapat mekanisme setor sendiri untuk PPh Pasal 23. Jika penghasilan diperoleh dari pihak yang bukan pemotong, penghasilan akan digunggung dalam SPT Tahunan sebagai penghasilan lain sehubungan dengan sewa.
Pihak pemotong wajib melakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Pelaporan melalui SPT Masa Unifikasi dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Selain itu, pemotong wajib memberikan bukti potong kepada penerima penghasilan. Pajak yang telah dipotong dapat menjadi kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh.
Contoh Penghitungan PPh 23 atas Sewa
Untuk penunjang kegiatan operasionalnya, PT Prima Raya Jasa (“PRJ”) membutuhkan mesin fotokopi dan mobil box. PRJ memutuskan untuk menyewa 2 mesin fotokopi dari CV Eka Printing Jaya (“EPJ”) selama dua tahun. Biaya tahun pertama sebesar Rp120 juta dibayarkan pada tanggal 8 Januari 2023.
PRJ menyewa mobil box selama 1 tahun dari CV Indo Mobil Sejahtera (“IMS”) dengan harga Rp80 juta. Diketahui bahwa IMS memiliki Surat Keterangan PP-23/PP-55 dan telah memberikannya kepada PRJ. Sewa telah dibayar pada tanggal 10 Januari 2023.
Dari transaksi di atas, PRJ wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa mesin fotokopi dari EPJ sebesar 2% dari keseluruhan jumlah yang dibayarkan, yakni Rp120 juta. PPh terutang adalah sebesar:
PPh Pasal 23 = 2% x Rp120.000.000 = Rp2.400.000
Pajak tersebut wajib disetor pada tanggal 10 Februari 2023, dan dilaporkan paling lambat 20 Februari 2023 melalui e-Bupot Unifikasi.
Transaksi dengan IMS adalah sewa kendaraan yang merupakan objek PPh Pasal 23. Namun, IMS memiliki Surat Keterangan PP-23/PP-55. Sesuai ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 Tahun 2018, penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan, tidak dipotong PPh Pasal 23, melainkan dipotong sebesar 0,5%. Baca ketentuan lengkap di sini terkait transaksi dengan Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan PP-23/PP-55 atau UMKM.
PPh yang harus dipotong untuk transaksi sewa dengan IMS adalah sebagai berikut:
PPh Final = 0,5% x Rp80.000.000 = Rp400.000